Oleh Rustomo
Pemilihan
umum kepala daerah (Pemilukada) Calon Gubernur (Cagub) dan Wakil Gubernur
(Cawagub) DKI tinggal hitungan hari bahkan hitungan jam, konstelasi tebar pesona semakin tanpa rasio. Ruas jalan dipenuhi
baliho dan bendera warna-warni ibarat pawai karnaval semarak dalam persaingan
tebar pesona, mengangkat jati diri untuk dikenal dekat rakyat. Berharap cemas dirinya
untuk dijatuhi pilihan oleh rakyat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Para Kontestan
Cagub dan Cawagub ingin namanya dan gambarnya dicoblos melalui berbagai
himbauan dan rayuan. Semoga setelah mereka duduk di kursi singgasana pimpinan
DKI, mereka tetap menghormati rakyat DKI yang telah memberikan suaranya kepada
mereka.
Sementara
rakyat Jakarta, disuguhi yang
membingungkan dalam pemilukada kali ini ,
Jokowi yang dinobatkan jadi satu dari 100 walikota terbaik di dunia
karena kiprahnya ketika menjadi walikota solo. Ada juga Faisal Basri , yang menurut sebagian orang
memang hidupnya sudah “merakyat” dari dulu. Ada Hidayat Nur Wahid yg katanya
berpeluang mendapat dukungan dari kaum NU. Dan ada Fauzi Bowo yang dikatakan
“gagal” selama menjabat. Dan terakhir ada Alex Nurdin yang mengatakan dirinya
berhasil memimpin Palembang.
Para
Cagub asyik berkampanye memberikan
janjinya masing masing , mulai dari mengatasi macet , mengatasi banjir , memberikan
waktu lebih di lapangan untuk mendengarkan keluhan masyarakat , memperbaiki
sarana transportasi umum , fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis untuk kaum
kurang mampu dan janji janji lain yang memberikan harapan yang menggiurkan
untuk kenyamanan hidup di Jakarta. Tak pelak, perang janjipun berlangsung.
Berjanji itu boleh saja, tapi jangan diingkari dan dilupakan.
Dalam pemaparan
program dari masing masing cagub/cawagub yang disiarkan oleh beberapa stasion
televisi, topik yang selalu dibahas adalah tentang kemacetan dan banjir.
Rata-rata jawaban para kandidat cukup mirip bahkan persis meski cara
penyampaiannya yang berbeda. Malah ada kandidat yang yakin bahwa masalah
kemacetan di Jakarta akan selesai dalam waktu tiga tahun.
Tiga tahun
bukanlah waktu yang lama. Kalau kita hitung, tiga tahun itu sama dengan 1.095
hari atau 26.280 jam. Sangatlah singkat waktu yang ditargetkan tersebut, sebab
tanpa terasa, apalagi dengan berbagai kesibukan birokrasi dan seremonial, waktu
26.280 jam itu akan segera berakhir. Lebih-lebih untuk mengatasi kemacetan
dalam waktu 26.280 jam, sungguh waktunya tidak cukup jika masalah ini hanya
dikerjakan sendiri oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Kemacetan Jakarta
merupakan masalah lintas pemerintah, lintas dunia usaha, lintas masyarakat,
lintas orang termasuk masalah besar bagi Pemerintah R.I. Misalnya, kemacetan
Jakarta salah satunya berasal dari kontribusi pertumbuhan kenderaan, ditambah
arus urbanisasi yang haus lapangan kerja. Lalu, kenapa semua numplek ke
Jakarta?
Pabrik kenderaan
yang umumnya berlokasi di sekitar Jakarta, termasuk dunia usaha lainnya,
menyediakan lapangan kerja kepada warga Jakarta dan sekitarnya. Berbagai
lembaga pemerintahan, juga berada di Jakarta. Semuanya berada di Jakarta!
Terpusatnya sumber ekonomi menyebabkan terbukanya lapangan kerja formal, yang
diikuti pula tumbuhnya lapngan kerja informal.
Ditambah lagi
dengan penumpukan modal (uang) yang cukup besar di Jakarta, maka ibukota ibarat
gulali yang terus dikerubuti oleh semut. “Kota termacet” ini dengan berat hati
harus menampung arus urbanisasi yang rata-rata ingin menikmati “manisnya”
gulali ibukota. Sudah terbukti, ternyata Pemerintah DKI Jakarta kesulitan
menghentikan arus urbanisasi, baik urbanisasi kaum terpelajar maupun masyarakat
unskill.
Problem urbanisasi
manusia ditambah jumlah kenderaan yang makin banyak, tentu saja tidak mampu
ditampung oleh jalanan Jakarta yang terbatas. Banyak pihak memperkirakan,
beberapa tahun ke depan, Jakarta akan mengalami macet total jika tidak
ditangani dengan cepat. Kondisi ini sangat merugikan secara ekonomi.
Dalam pandangan
saya, problem kemacetan Jakarta tidak akan mampu ditangani sendiri oleh
Pemerintah DKI Jakarta yang dalam waktu
singkat. Kemacetan Jakarta disebabkan oleh muara semua urusan berada di kota
ini. Urusan orang di Jakarta bukan hanya urusan ekonomi, malah urusan
pemerintahan, politik, pendidikan, hiburan, semuanya bermuara di Jakarta.
Jakarta seperti bottle neck, yang tersumbat dengan berbagai urusan sampai
akhirnya terjadi kemacetan.
Solusi tawaran, urusan-urusan
yang selama ini terpusat di Jakarta mesti didistribusikan/direlokasi segera.
Misalnya, pusat pemerintahan republik ini harus dipindahkan dari Jakarta, perguruan
tinggi juga harus dipindahkan, jadikan Jakarta hanya sebagai pusat bisnis dan
industri saja. Pemerintah DKI Jakarta tidak memiliki wewenang untuk memindahkan
lembaga-lembaga ini, karenanya diperlukan campur tangan Pemerintah R.I.
Katakanlah pusat Pemerintahan
dipindahkan ke Lebak, pusat pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta
dipindahkan ke Karawang atau Bogor. Diperkirakan, setidak-tidaknya seperempat
kemacetan Jakarta dapat diatasi. Sebab, dengan sendirinya penduduk akan
terdistribusi sesuai kepentingannya.Misalnya, untuk
urusan pemerintahan dan politik, silahkan bermukim di Lebak. Untuk urusan
kuliah, silahkan bermukim di Karawang atau Bogor. Untuk urusan bisnis dan
hiburan, silahkan datang ke Jakarta.
Solusi ini sengaja
disampaikan supaya para pemilih Jakarta yang akan “meminjamkan” mandatnya pada
tanggal 12 Juli 2012 nanti tidak kecewa, seandainya orang pilihannya tidak
mampu menyelesaikan kemacetan Jakarta dalam waktu yang dijanjikan. Sebab,
gubernur dan perangkat Pemerintahan DKI Jakarta tidak sanggup menyelesaikan
masalah kemacetan itu sendiri, mereka harus dibantu Pemerintah R.I dan pihak
swasta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar