Keluhan rakyat atas kesulitan tempe, seharusnya pemerintah segera mencarikan solusinya. Beberapa perajin makanan idola rakyat Indonesia Tempe dan Tahu terancam gulung tikar alias bangkrut bila pemerintah tidak segera turun tangan ikut mengatasi atas melonjaknya harga bahan baku tahu tempe, Kedelai. Dalam bulan puasa ini, harga kedelai yang semula Rp8000/kilogram tiba tiba melambung dengan setiap harinya naik Rp100.
Keluhan ini tidak hanya dilontarkan oleh perajin, ibu rumah tanggapun ikut kebingungan atas kelangkaan makanan ringan tersebut. Selama tiga hari ini, hidangan buka puasapun tanpa sajian makanan idolanya, tahu-tempe.
Melonjaknya harga bahan baku tempe memang trigger keluhan masyarakat. Data Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi dan kementrian Perindustrian RI menunjukkan, harga kedelai meningkat secara kontinyu mulai bulan Januari hingga Juli 2012. Pada bulan Januari saja harga kedelai sekitar Rp5.570 dan pada bulan Juli naik menjadi Rp7.400. Namun pada saat ini, harga kedelai di pasaran menjadi Rp8.000 hingga Rp8.400 per kilogram.
Pelonjakan secara tiba tiba harga kedelai ini sebenarnya sudah berulang kali terjadi. Kejadian terakhir misalnya, pada awal tahun 2011, dimana lebih dari 5.000 perajin dari 115.000 perajin tahu tempe di Indonesia mengalami gulung tikar yang disebabkan mahalnya bahan pokok, Kedelai. Tapi sayangnya, pemerintah mempunyai strategi dalam mengatasi permasalahan tersebut cenderung berorientasi pada kepentingan jangka pendek bak bersifat memadamkan api dalam sekam.
Berita dari berbagai media mengenai ancaman gulung tikar para perajin tahu-tempe kembali mengumandang. Dari fakta yang ada, menunjukkan, bahwa ancaman tersebut benar-benar terjadi. Di berbagai wilayah, banyak perajin tahu tempe telah menghentikan produksinya akibat harga kedelai sudah tidak terjangkau. Bahkan ancaman mogok produksipun menjadi kenyataan oleh beberapa perajin yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakopttindo).
Beberapa penerapan Strategi yang masih bertahan perajin tahu-tempe. Hal ini yang bisa dilakukan dengan memperkecil ukuran dan volume tahu-tempe. Namun dengan harga kedelai yang terus melambung, dikhawatirkan strategi tersebut tidak akan bertahan lama. Implikasi lebih jauh, akan terjadi krisis tahu dan tempe karena produk ini akan menghilang dari pasaran.
Kenaikan harga kedelai yang dialami saat ini sebenarnya menjadi bukti bagaimana rapuhnya ketahanan pangan khususnya produk kedelai di dalam negeri. Anomali cuaca yang terjadi di Amerika Latin seperti di Argentina dan Brazil telah memicu indeks kedelai dunia meningkat tajam dan akhimya berimbas kepada harga kedelai di dalam negeri yang melambung cukup tinggi.
Ketergantungan impor kedelai Indonesia dari luar negeri dan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan stok produksi dalam negeri menyebabkan harga kedelai meningkat cukup tajam. Sebagai catatan, pada tahun 2011 dari kebutuhan kedelai nasional sebesar 2,2 juta ton, 1,6 juta ton berasal dari impor luar negeri. Ini tentunya sangat ironis bagi negara agraris seperti Indonesia.
Target pemerintah RI dalam swasembada kedelai tahun 2014 terkesan juga kurang dikawal secara baik dan masih jauh dari kenyataan. Realitas yang ada, menunjukkan demikian. Produksi kedelai dalam kurun waktu Januari-Maret 2012 hanya 194.088 ton. Jumlah ini masih sekitar 10% dari target Kementerian Pertanian yakni 1,9 juta ton di tahun 2012. Tahun 2011, realisasi produksi kedelai juga rendah karena hanya mencapai 843.838 ton dari target yang dite-tapkan oleh pemerintah sebesar 1,56 juta ton.
Fakta – fakta yang di bahas di atas tersebut menunjukkan bahwa target swasembada kedelai tampaknya akan sangat sulit direalisir. Meskipun kelihatannya target tersebut sulit untuk dicapai, akan tetapi dalam waktu tersisa sebelum pencapaian target tersebut, perlu langkah ekstra keras yang perlu dilakukan pemerintah. Pemanfaatan lahan hutan milik Perhutani untuk budidaya kedelai sebenarnya pernah dilontarkan Menteri Pertanian Suswono. Potensi lahan dari kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya kedelai sekitar 80.000 hektare Jika ini benar-benar terealisir maka mimpi swasembada kedelai bukan sekadar ilusi.
Pemerintah harus mampu membuat daya tarik budidaya kedelai bagi petani sehingga petani tidak beralih menanam produk pertanian ke sektor lain seperti jagung dan tanaman palawija lain. Selama ini, para petani cenderung kurang serius dalam membudidayakan kedelai karena dianggap prospeknya kurang cerah. Hal yang harus dipahami sebagai prinsip bahwa selama kita belum bisa mampu melakukan m kedelai maka selama itu pula lah perajian tempe dan tahu akan selalu tergantung pada gejolak ekonomi di dunia.
Memadamkan api dalam sekam. Bila harga kedelai yang mebumbung tinggi ini hanya diatasi oleh pemerintah memalui program jangka pendek, berarti pemerintah seperti Keledai masuk lubang yang sama berulangkali. Menurunkan bea masuk import kedelai akan menyuburkan importir dan tengkulak penimbun bahan baku tahu-tempe. Pemerintah segera turun pasar untuk meringankan beban masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar